Ketika kita harus dihadapkan kepada dua pilihan, jawaban apa yang harus kita berikan? Andaikan ada pembanding yang sangat signifikan mungkin akan memilih yang paling dominan menurut hati kita. Tentunya atas dasar rasa simpati atau sejuta rasa menjadi alasan dua pilihan tersebut menjadi satu yang terpilih. Begitu pula dalam memilih pekerjaan, dan ketika kita ditanya dua pilihan tersebut, tentunya tanpa menunggu lama jawaban kita sudah pasti memilih pekerjaan yang bagus, bergaji besar, di kantor atau diperusahaan bonafit, yang memiliki tunjangan besar, memperoleh kesejahteraan yang layak, dan sebagainya.
Sepeti inilah jawaban yang biasanya mendominasi setiap pilihan itu. Tapi pernahkan kita berfikir bahwa seorang yang memiliki pekerjaan sebagai pengemis memiliki pekerjaan itu sebagai pilihan hatinya? Sedangkan masih banyak bidang pekerjaan lain yang lebih baik dibandingkan menjadi seorang pengemis. Jika mau berkata jujur mungkin pengemis itu akan lebih memilih menjadi seorang direktur jika pekerjaan itu merupakan hasil temuan, bukan rekayasa.
Setiap dibukanya peluang lapangan pekerjaan, baik itu instansi pemerintahaan maupun swasta, memiliki cara atau metode sama dalam memilih anggota calon pekerja baru. Disinilah ajang etika manusia dipermainkan. Etika yang dimaksud adalah etika menghargai hak, bahwa setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan tersebut yang mungkin telah menjadi garis hidupnya. Secara sengaja atau tidak ternyata masih ada orang yang mendapatkan pekerjaan itu seperti dengan cara yang tidak beretika.
Dalam dunia pekerjaan bermain curang adalah dianggap suatu kewajaran dan umum terjadi, namun bermain curang atas hak orang lain adalah ketidakadilan. Tuhan memberi rejeki kepada siapa saja yang Ia kehendaki, salah satunya dengan jalan memiliki satu pilihan pekerjaan diantara jenis pekerjaan yang lain. Namun manusia yang lain justru berani memindahkan rejeki itu kepada oran lain, mungkin bisa teman, saudara, atau kepada orang yang berani membayar mahal untuk itu. Kebiasaan iniseolah-olah sudah jadi tradisi dan seakan-akan pula telah membudaya dikalangan masyarakat, dan lebih buruk lagi kebanyakan pula orang yang tahu diam.
Disinilah letak buruknya etika para pelaku pekerjaan yang memprioritaskan kebutuhan pribadi semata. Maka berlakulah prinsip "Orang boleh sama pintarnya, tetapi nasib sudah pasti beda", dan perbedaan itu nyata terjadi. Dan di sisi lain orang mungkin akan berkata bahwa itu merupakan bagian garis nasib hidup.
Setiap orang mempunyai hak untuk memilih, setiap hak wajib untuk dihargai walaupun terkadang kita merasa berat hati untuk mengakuinya. Dengan jalan bersyukur kepada tuhan, sepertinya pilihan itu (pekerjaan) akan menjadi sebuah pilihan yang bijak bagi orang-orang yang kita cintai.
2 comments:
itulah realita hidup kawan, kalau dipikir-pikir sekolahpun rasanya tak berguna, kepintaran kalah dengan AMPI [Anak, Misan/Mindon, Ponakan, Ipar]
benar nggak kawan :D
tul gan.... skrg lebih baik memilih mengandalkan keberuntungan saja
Post a Comment