"Malu Bertanya Sesat Dijalan", dari pada malu-maluin lebih baik bertanya walaupun dipinggir jalan agar tidak pula tersesat di jalanan. Mungkin makna pepatah tersebut kurang lebihnya seperti itu, kita sebagai manusia yang bermoral sudah paham akan konsep malu. Sebagian orang mengangap budaya malu adalah bagian dari identitas sesuatu maupun seseorang, sedang diberbagai paham yang lain budaya malu hanya sebagian kecil rasa alamiah manusia yang dibawa dari sejak lahir yang harus dipertahankan. Jika dikumpulkan dari berbagai paham manusia tentang budaya malu mungkin pada intinya mengandung makna yang sama.
Dilihat dari fungsi dan peranannya, budaya malu ternyata sangat bermanfaat. Sering kali kita melihat tata tertib yang dibuat pada sebuah lingkungan kerja, dikantoran pada instansi swasta maupun pemerintah. Ada yang memasang tata tertib yang sengaja dibuat dalam upaya kedisiplinan para pegawai maupun karyawan. Diantaranya penerapan budaya malu, yaitu: "Malu Jika Datang Terlambat". Demi kedisiplinan pegawai agar etos kerja mereka menjadi lebih baik slogan tersebut ternyata sangat ampuh diterapkan. Bayangkan saja bila kita datang ke kantor kesiangan, hal kecil yang dapat kita rasakan begitu memasuki ruangan kantor, kita sudah disambut dengan tatapan mata para pegawai yang lain, belum lagi jika big bos langsung mengetahui keterlambatan kita. Bukan saja teguran halus yang kita dapatkan, omelan, amarah sampai ke hal-hal yang memalukan lain akan kita dapatkan juga dari sang bos.
Pada tatanan lain secara pribadi budaya malu juga perlu kita pertahankan. Mungkin kita iri melihat anak kecil yang belum paham akan budaya malu ini. Budaya malu menurut persepsi salah satu agama ternyata sangat dijunjung tinggi, bahkan merupakan identitas yang perlu dijaga dimanapun sampai kapanpun. Tidak dapat kita bayangkan jika manusia dibumi ini tidak memiliki budaya malu. Manusia disebut sebagai makhluk yang beradab karena memiliki salah satu konsep malu dalam dirinya. Diciptakan sebagai satu-satunya makhluk dibumi yang memiliki etika kemanusiaan terhadap kehidupan dan moralitas maka layaklah mahluk itu disebut manusia. Dan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Kita sebagai manusia wajib memelihara eksistensi kemanusiaan ini dengan cara mempertahankan budaya malu tetap lestari pada diri kita. Kita tidak mungkin akan disebut manusia beretika baik jika budaya malu tersebut hilang dalam prilaku serta kepribadian. Orang lain akan menganggap gila andaikan rasa malu itu sudah tidak ada. Lihat saja manusia yang disebut "Orang Gila" ketika berjalan ditempat keramaian berperilaku aneh, berkata sendirian tanpa lawan bicara, berpakaian tidak beraturan, bahkan mengumbar (maaf) aurat (kemaluan) yang tidak tidak tertutupi dengan baik dan berbagai macam tingkah laku yang tidak sesuai dengan kepribadian manusia itu sendiri. Ini adalah sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi.
Bagaimana cara mempertahankan budaya malu?
Manusia sebagai diri pribadi, bukan orang lain. Sebagai pribadi yang manusiawi, rasa malu tentu ada pada setiap insan. Ketika sesuatu yang kita rasakan seakan sungkan atau enggan kita lakukan dihadapan orang lain itulah bagian dari rasa malu, tentunya tergantung kita menempatkannya. Sederhananya tidak berperilaku berlebihan diluar nalar dan logika atau etika kemanusiaan sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan budaya malu tersebut tetap lestari pada diri kita.
Lalu bagaimana jika faham lain yang tidak mempermasalahkan?
Istilah pornograpi mengandung persepsi yang negatif dan tentunya kita dapat langsung meng-klaim bahwa hal itu terjadi karena tidak dilandasi oleh rasa malu. "Lain Ladang Lain Belalang" Anggapan ini dapat kita maklumi karena memang ada yang tidak mempermasalahkan budaya malu tersebut. Namun yang perlu kita pahami bahwa hakikat kemanusiaan itu akan tetap terjaga dimata orang lain ditentukan oleh kultur budaya itu sendiri dan ditentukan oleh pribadi masing-masing.
No comments:
Post a Comment