Membaya pajak adalah kewajiban bagi setiap warga negara dengan maksud agar tercapai kesejahteraan hidup dan kelayakan bertahan dalam berbagai keadaan ditempat yang kita huni di negara ini. Dengan reasoning tercapainya kesejahteraan tersebut tentu kita semua akan bertanya-tanya mengapa sudah sekian tahun pajak selalu kita bayar dengan disiplin tapi kesejahteraan tak kunjung tercapai. Kedaulatan tak kunjung kita peroleh, bahkan akhir-akhir ini penyelenggara negara seakan menciptakan sebuah iklim pemerasan dengan tujuan agar kita terbiasa memberi tips jika ingin mengurus apapun dalam birokrasi manapun.....(Wani Piro....!!!).
Yang kita alami bukan saja penyuapan tapi pemerasan yang disebabkan oleh iklom nonalami yang dicipakan oleh para birokrat. Kesejahteraan merupakan satu-satunya reasoning dalam menunaikan pajak akan sangat paradoksal ketika berbenturan dengan logika ketuhanan. Tuhan mewajibkan manusia untuk taat beribadah setelah segala fasilitas telah diberikan kepada umat manusia, artinya Tuhan juga memerintahkan manusia untuk taat dan wajib menunaikan pajak (ibadah) yang pada hakekatnya akan mensejahterakan manusia.
Maka tak logis jika ketuhanan kita sebagai pemberi manusia terpenuhi, tak pantas rasanya jika kita tidak memberi semacam apresiasi terhadap sang pemberi. Bagaimana mungkin kita tunaikan pajak terus menerus tanpa ada jaminan kesejahteraan seperti yang kita dambakan. Bagaimana mungkin akan tumbuh rasa ikhlas dari esoterik kemanusiaan ketika pajak yang kita tunaikan ternyata masih saja kita dapati penyamun-penyamun pajak dengan leluasa keluar masuk bui dengan sesuka hatinya.
Tujuan diselenggarakannya pajak adalah untuk menciptakan manajemen konflik antar manusia melalui retribusi kesejahteraan yang sudah terbukti sejak zaman kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Teori tersebut melahirkan good corporate governance, yaitu kedaulatan serta kesejahteraan rakyat adalah panglima dan harga mati ketika ia tak kunjung dicapai, tentunya ada yang salah dari sisi managerialnya. Hal itulah yang melatarbelakangi moratorium pajak pada saat pemerintah hendak menciptakan iklim yang kondusif antara rakyat dan penguasa.
Dalam pengelolaan pajak yang semakin kusut, kita dihadapkan pula pada sebuah survei tentang kepuasan publik terhadap negara. Saat ini kita masih akrab dengan ketidakjelasan serta ketidakpastian apapun, diwilayah manapun, hukum, ekonomi, transportasi, demokrasi, semua itu tidak pernah kunjung selesai. Disaat slogan pajak berbunyi "Orang Bijak Taat Pajak" kemudian yang terjadi adalah Orang Yang Cerdas Siap Boikot Pajak. Oleh seorang peneliti pada STAI-NU Jakarta.
No comments:
Post a Comment