Tahun 1992 International Programme On the Ellimination of Child Labour (IPEC) mencetuskan program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dan Indonesia termasuk negara pertama yang mengambil bagian dalam program tersebut, di karenakan Indonesia termasuk negara yang menyegerakan diri untuk meratifikasi Konvensi ILO tentang bentuk-bentuk pekerjaan buruk untuk anak.
Dengan meratifikasi konvensi tersebut, indonesia mempertegas komitmennya untuk mengambil tindakan efektif untuk melarang dan menghapuskan segala bentuk pekerjaan terburuk yang terjadi pada anak pada usia minimun dalam memasuki dunia kerja. Komitmen yang besar ini membuahkan sejumlah hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini berdasarkan data ILO dari tahun 1996 telah terjadi penurunan jumlah pekerja anak pada usia minimum sekitar 2,5 juta anak, dan penurunan ini terus terjadi setiap tahunnya.
Meskipun demikian jumlah pekerja di negeri ini relatif masih tinggi. Badan survei Nasional Pekerja Anak yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan ILO pada tahun 2009 mencatat masih terdapat sekitar 4 juta anak yang secara ekonomi turut dalam kategori masih menjadi pekerja aktif. Sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak pula mencatat 11 juta anak pada usia 7-8 tahun tidak terdaftar pada sekolah dasar di berbagai wilayah di indonesia, dan diperkirakan telah menjadi pekerja aktif.
Sebetulnya ada beberapa cara untuk menanggulangi terjadinya masalah pekerja anak yang terjadi diseluruh penjuru dunia, termasuk indonesia, yaitu pertama, dengan menarik pekerja anak dari dunia pekerjaannya, dan dikirim kepada lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah non formal. Kedua, dengan pencegahan yang beresiko sebagai pekerja anak dengan memfasilitasi program pendidikan kecakapan hidup secara personal dan sebagainya. Ketiga, dengan meningkatkan taraf perekonomian keluarga melalui pendidikan wirausaha dan keterampilan. Hal ini didasari pemikiran, jika orang tua mampu secara ekonomi, maka anaknya akan terjun sebagai siswa sekolah.
Kemiskinan dianggap sebagai salah satu faktor pemicu tingginya angka pekerja pada anak di usia minimum. Maka dengan adanya pendekatan secara ekonomi akan menjadi sebagai salah satu solusi utama ketika sejumlah agenda global menjadikan program pengentasan kemiskinan sebagai target utama seperti tertuang dalam Program Millinennium Develepment Goals (MDGs).
Sebagai persoalan yang sangat kompleks, upaya dalam penanggulangan masalah pekerja anak tidak cukup hanya dengan mengandalkan langkah-langkah konvensional saja maupun pendekatan ekonomi kontemporer apabila cara ini dilakukan secara sporadis. Seharusnya upaya penanggulangan masalah pekerja anak menggunakan pendekatan yang multisektor, terutama sektor-sektor terkait dengan masalah pekerja anak, seperti pemerataan akses pendidikan melalui peningkatan angka partisipasi murni dimulai dari siswa yang masuk program wajib belajar.
Program ini akan berjalan lebih optimal jika bersinergi dengan semua sektor, mulai dari pusat sampai daerah, mulai dari elemen masyarakat sampai elemen swasta. Selain itu mengembangkan kemitraan global dan memaksimalkan kerja sama dalam lingkungan secara nasional. Hal ini diperlukan karena tidak semua pihak khususnya daerah yang memiliki jumlah angka tinggi pekerja anak tidak memiliki kemampuan sumber daya yang memadai untuk mengatasi masalah pekerja anak di daerahnya sendiri. Kemitraan dari berbagai pihak dalam lingkungan yang luas dapat menjadi solusi dalam mensiasati keterbatasan dalam anggaran dan ketersediaan sumber daya manusia.
No comments:
Post a Comment